Sehubungan dengan Seminar Peluncuran “Menerapkan Standardisasi, Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Ideal Profesi Advokat: Studi Kelembagaan Organisasi Advokat di Indonesia” yang akan diselenggarakan pada Kamis 27 Juli 2023 di Aloft Hotel Jakarta, dimana ICJR menyampaikan hasil kajiannya yang pada pokoknya bahwa perlu  dilakukan  Perubahan  Undang-Undang  Advokat  No.  18  Tahun  2003  (UUA) terutama usulan perubahan bentuk Organisasi Advokat, dari bentuk Single Bar menjadi Multi  Bar  dengan  Single  Regulator  dengan  dibentuknya  Dewan  Advokat  Nasional (DAN);

 

 

Pada Kerangka Acuan Kegiatan Penyampaian Hasil Kajian tentang Rekomendasi, ICJR mengemukakan faktor/keadaan/kondisi yang menunjukkan adanya ketidakteraturan kelembagaan organisasi advokat yang berdampak pada hal-hal yang dapat digambarkan sebagai berikut :

 

1.     Belum tercapainya fungsi organisasi advokat untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.

2.     Tidak  adanya   standardisasi  dalam  proses  pengangkatan  advokat   yang  dapat menjamin kualitas advokat berada pada level kompetensi yang sama, khususnya dari aspek pendidikan profesi, magang, dan pendidikan/pengembangan kapasitas lanjutan.

3.     Masih   lemahnya   akuntabilitas   advokat   dalam   konteks   penegakan   kode   etik (misalnya: fenomena advokat berpindah keanggotaan dari satu organisasi advokat ke organisasi advokat yang lain ketika dilaporkan melanggar etik maupun ketika telah dijatuhi sanksi etik), termasuk juga lemahnya akuntabilitas organisasi advokat dalam menjalankan kewenangan (misalnya: tidak ada mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban organisasi advokat yang tidak melaksanakan pengangkatan sesuai prosedur).

4.     Negara  (eksekutif,  yudikatif)  yang  tidak  melaksanakan  perannya  secara  optimal untuk memantau advokat dan organisasi advokat, padahal negara berkepentingan untuk memastikan akses terhadap keadilan bagi masyarakat marjinal dan rentan.

5.     Belum  optimalnya  pemenuhan  kewajiban  pro  bono  (yang  terpisah  dari  skema bantuan hukum di bawah Kemenkumham RI).

6.     Sulitnya   memastikan   ketersediaan   advokat   yang   merata   di   seluruh   wilayah Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas (berdasarkan data berita acara sumpah sejak 2003 s/d 2022 dari 12 pengadilan tinggi seluruh Indonesia dapat terlihat komposisi advokat paling banyak terpusat di wilayah Jawa).

 

Maka dengan ini PERADI menyampaikan tanggapan dan penegasan sebagai berikut :

 

 

1.     UNDANG-UNDANG       NOMOR       18       TAHUN       2003       TENTANG       ADVOKAT MENGAMANATKAN DIBENTUK SATU ORGANISASI ADVOKAT (SINGLE BAR).

 

 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (UUA) mengamanatkan dibentuknya satu Organisasi Advokat (model Single Bar) sebagaimana dimaksud Pasal 28 (1) UU yang berbunyi ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat”.

 

 

2.     ICJR  MENAFIKAN  PERADI  SEBAGAI  ORGANISASI  ADVOKAT  YANG  SAH  SESUAI DENGAN AMANAT PASAL 28 AYAT (1) UU ADVOKAT.

 

 

Rekomendasi   ICJR   pada   halaman   50   alinea   kesatu   menyatakan   ”Ketiadaan organisasi  profesi  yang  dapat  memastikan  standardisasi  untuk  menjamin peningkatan kulitas profesi advokat salah satunya menyebabkan advokat Indonesia belum secara optimal menjalankan perannya untuk menjamin pemenuhan hak-hak pencari keadilan yang diwakilinya”. Pendapat ICJR ini sungguh merupakan pendapat yang sangat tidak objektif dan bertentangan dengan realitas hukum yang ada.

 

 

Pasal 1 ayat (4) UUA menyebutkan ”Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang”, dalam hal ini yang dimaksud dengan undang-undang harus dimaknai UUA, sedangkan yang dimaksud dengan Organisasi Advokat adalah Organisasi Advokat yang didirikan berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UUA.

 

 

Terkait  dengan  PERADI sebagai Organisasi Advokat  yang didirikan berdasarkan ketentuan-ketentuan UUA, Mahkamah Konstitusi telah memberikan tafsir dan kedudukan konstitusional kepada PERADI melalui putusan antara lain:

 

 

1) Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara   No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30-11-2006, sebagai berikut :

-  Bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang   merupakan   satu-satunya   wadah   profesi   Advokat,   sehingga   tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32

Ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh  Mahkamah  dalam  Putusannya  Nomor  019/PUU-I/2003  telah dinyatakan ditolak;

 

 

-  Bahwa ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat. Karena, Pasal

28  Ayat  (1)  UU  Advokat  menyebutkan,  ”Organisasi  Advokat  merupakan

satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”, maka organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara;

 

 

Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding) yang menyatakan PERADI sebagai satu-satunya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UUA, maka secara hukum sudah seharusnya seluruh pihak (eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk masyarakat luas d.h.i   ICJR)   terikat   dan   harus   mengakui   bahwa   PERADI   adalah   satu-satunya Organisasi Advokat, dan tidak ada Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud UUA selain dan di luar PERADI.

 

 

3.     ICJR MENAFIKAN KEDUDUKAN PERADI SEBAGAI ORGAN NEGARA DALAM ARTI LUAS YANG MASUK KE DALAM RUMPUN KEKUASAAN YUDIKATIF.

 

 

3.1.   Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara No. 014/PUU-IV/2006 tanggal

30-11-2006, menyatakan sebagai berikut :

 

 

Bahwa ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada  Advokat  sebagai  penegak  hukum  yang  mempunyai  kedudukan 

setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu   organisasi   yang   merupakan   satu-satunya   wadah   profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat. Karena, Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat menyebutkan, ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”, maka  organisasi PERADI  sebagai  satu-satunya  wadah  profesi  Advokat  pada  dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara;

 

 

3.2.   Dalam perkara No. 019/PUU-I/2003 pengujian terhadap Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 14 sampai 17, Pasal 32 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (3) UUA, Dewan Perwakilan Rakyat R.I, yang diwakili oleh H. Hamdan Zoelfa, S.H dan Akil Mukhtar, S.H. menyampaikan keterangan lisan di dalam persidangan yang kemudian dituangkan dalam keterangan tertulis tertanggal

10 Pebruari 2004 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

 

 

Bahwa UUD 1945 Pasal 24 terdiri dari 3 ayat yaitu pertama, persoalan kekuasaan kehakiman oleh kuasanya yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, menyangkut pelaksana kekuasaan kehakiman yang terdiri dari Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang ada dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Kemudian ayat (3) adalah badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Kemudian ada satu badan lain namanya komisi yudisial yang diatur dalam pasal selanjutnya.

 

 

Mengenai advokat tidak diatur dalam UUD 1945, tapi dasar pengaturan tentang advokat harus dikembalikan kepada Pasal 24 ayat (3) yaitu badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Jadi ini termasuk bentuk badan-badan lain dari pelaksanaan kekuasaan  kehakiman  itu  yang  akan  diatur  dengan  undang-undang. Ini termasuk kejaksaan yang melaksanakan fungsi peradilan, polisi sebagai penyidik yang melaksanakan fungsi peradilan. Itu termasuk badan-badan lain.  Termasuk  lapas,  termasuk   notaris  yang  melaksanakan  sebagian fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman yaitu diatur dalam undang-undang.

 

 

3.3.   Konsiderans  UUA  pada  bagian  Menimbang  huruf  b  menyatakan  sebagai berikut:

 

 

Bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung  jawab,  untuk  terselenggaranya  suatu  peradilan  yang  jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.

 

 

Berdasarkan poin 3.1, 3.2 dan 3.3 tersebut di atas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa PERADI adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara, dalam hal ini PERADI masuk ke dalam  rumpun  kekuasaan  yudikatif  dan  karenanya  merupakan  Badan  Hukum Publik.

 

 

4.     ICJR  TIDAK  DAPAT  MEMBEDAKAN  ORGANISASI  ADVOKAT  (PERADI)  SEBAGAI ORGAN NEGARA DALAM ARTI LUAS DENGAN ORGANISASI ADVOKAT SEBAGAI ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

 

 

Pada  Rekomendasi  Bab  I  Pendahuluan  halaman  2  alinea  pertama  ICJR  menulis

Organisasi Advokat (OA) di Indonesia terus mengalami permasalahan kelembagaan yang menghambat upaya-upaya pencapaian mandatnya, utamanya untuk perbaikan kualitas advokat Indonesia. Saat ini setidaknya terdapat 51 OA”.

 

 

Selanjutnya pada catatan kaki nomor 2) ICJR menulis ”Berdasarkan data tertulis yang diterima ICJR dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum Dan HAM RI per 21 September 2022, sudah terdaftar sebanyak

46 organisasi (yang berbadan hukum yayasan dan perkumpulan yang mengandung nama ”advokat”, per Mei 2023 menjadi 51 organisasi) yang dianggap sebagai organisasi advokat di Indonesia sebagaimana disampaikan secara lisan oleh Koordinator Jaminan Fidusia Dan Hukum Perdata Umum Dirjen AHU Kemenkumham RI dalam wawancara pada 4 Mei 2023”.

 

 

Sikap ICJR yang dengan begitu saja menuliskan bahwa per Mei 2023 terdapat 51 organisasi yang dianggap sebagai organisasi advokat di Indonesia adalah sikap dan pendirian yang bertentangan dengan UUA yang hanya mengamanatkan hanya ada satu Organisasi Advokat, dan berdasarkan amanat UUA kemudian dibentuk PERADI

 

 

yang memiliki segala kewenangan Organisasi Advokat sebagaimana ditentukan dalam UUA.

 

 

ICJR secara sedemikian rupa telah keliru menempatkan fungsi dan kedudukan PERADI yang merupakan organ negara dalam arti luas sama dengan fungsi dan kedudukan organisasi advokat lain yang merupakan organisasi/perkumpulan yang dibentuk berdasarkan dan tunduk kepada UU Organisasi Kemasyarakatan (bukan UUA) serta merupakan badan hukum privat.

 

 

Dalam Rekomendasi ICJR tidak dapat membedakan Organisasi Advokat (PERADI) dalam konteks UUA (sebagai organ negara dalam arti luas yang juga melaksanakan fungsi negara) dengan organisasi advokat dalam konteks perwujudan dari ”prinsip kebebasan berserikat” yang ditetapkan/dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan diimplementasikan dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017.

 

 

5.     UUA         TIDAK         MENGHALANGI         ADVOKAT         UNTUK         MEMBENTUK ORGANISASI/PERKUMPULAN DAN MENJALANKAN FUNGSI SEBAGAI ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

 

 

Meskipun Pasal 28 ayat (1) UUA mengamanatkan (membolehkan) hanya ada satu Organisasi Advokat, tetapi sejatinya UUA sama sekali tidak menghalangi (tidak melarang) Advokat untuk mendirikan Organisasi, (Perkumpulan, Yayasan, Paguyuban dan lain sebagainya) yang beranggotakan Advokat dan menjalankan segala fungsi dan tujuan yang dapat dijalankannya sesuai dengan UU Organisasi Kemasyarakatan. Yang tidak dapat dan tidak boleh dilakukan oleh Organisasi yang beranggotakan Advokat tersebut adalah menjalankan kewenangan Organisasi Advokat yang ditetapkan dalam UUA.

 

 

6.     ICJR    MENAFIKAN    KONSTITUSIONALITAS    PERADI    SEBAGAI    SATU-SATUNYA ORGANISASI ADVOKAT YANG MEMILIKI 8 (DELAPAN) KEWENANGAN YANG DIBERIKAN OLEH UUA.

 

 

Pada Rekomendasi Bab I Pendahuluan halaman 2 alinea kedua dari atas, ICJR menulis ”Kondisi saat ini menunjukkan masing-masing organisasi advokat memiliki   standard   yang   berbeda-beda   terkait   dengan   standardisasi   profesi advokat terkait dengan perekrutan anggota dan penegakan kode etik yang berimplikasi pada kualitas advokat .....”.

 

 

Putusan   Mahkamah   Konstitusi   Nomor   35/PUU-XVI/2018   tanggal   28-11-2019 antara lain menyatakan sebagai berikut :

 

 

-  Bahwa  dengan  memperhatikan  Putusan-Putusan  di  atas,  Mahkamah  melalui putusan ini menegaskan hal-hal sebagai berikut :

1)   Bahwa    persoalan    konstitusionalitas    organisasi    advokat    sebagaimana

dimaksudkan  dalam  Pasal  28  ayat  (1)  UU  Advokat  sesungguhnya  telah selesai dan telah dipertimbangkan secara tegas oleh Mahkamah, yakni PERADI yang merupakan singkatan (akronim) dari Perhimpunan Advokat Indonesia sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi  advokat  [vide  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor  014/PUU-IV-

2006 bertanggal 30 November 2006], yang memiliki wewenang sebagaimana

ditentukan dalam UU Advokat untuk :

a.  Melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)];

b.  Melaksanakan pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f];

c.  Melaksanakan pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)];

d.  Membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)];

e.  Membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)];

f.   Membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)];

g.  Melakukan Pengawasan [Pasal 12 ayat (1)]; dan h.  Memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1)];

[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal

27 Juni 2011];

2)    Bahwa berkaitan dengan organisasi-organisasi advokat lain yang secara de facto  saat  ini  ada,  hal tersebut tidak dapat dilarang  mengingat konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun demikian organisasi advokat lain tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan 8 (delapan) jenis kewenangan sebagaimana diuraikan pada butir angka (1) di atas dan hal tersebut telah secara tegas dipertimbangkan sebagai  pendirian  Mahkamah  dalam  putusannya  berkaitan  dengan organisasi advokat yang dapat menjalankan 8 (delapan) kewenangan dimaksud [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011];

3)    Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan penyumpahan advokat yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat yang pada saat ini secara de facto ada, tidak serta merta membenarkan bahwa organisasi di luar PERADI dapat menjalankan 8 

(delapan)  kewenangan  sebagaimana  ditentukan  dalam  UU  Advokat, akan tetapi semata-mata dengan pertimbangan tidak diperbolehkannya menghambat hak konstitusional setiap orang termasuk organisasi advokat lain yang secara de facto ada sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (2) UUD

1945 yaitu hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam kaitan ini, calon advokat juga harus dijamin perlindungan hak konstitusionalnya untuk disumpah oleh pengadilan tinggi karena tanpa dilakukan penyumpahan calon advokat yang bersangkutan tidak akan dapat menjalankan profesinya. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyumpahan menjadi Advokat maka ke depan organisasi-organisasi advokat selain PERADI harus segera menyesuaikan dengan organisasi PERADI sebab sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi di atas bahwa PERADI-lah sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang di dalamnya melekat  8  (delapan)  kewenangan  dimana  salah  satunya  berkaitan  erat dengan pengangkatan Advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006].

 

 

Oleh karena yang memiliki 8 (delapan) kewenangan tersebut di atas adalah PERADI, maka guna mengetahui efektivitas dari UUA terkait dengan PERADI satu-satunya Organisasi   Advokat   (Single   Bar)   dan   implementasi   8   (delapan)   kewenangan tersebut oleh PERADI, maka seharusnya yang diteliti oleh ICJR adalah PERADI itu sendiri, bukan organisasi advokat lain yang sama sekali tidak memiliki kewenangan (tidak memiliki kapasitas hukum) untuk melaksanakan 8 (delapan) kewenangan Organisasi Advokat yang diatur dalam UUA; Sungguh sangat keliru, dan tidak akan objektif serta tidak akan valid kajian ICJR manakala ICJR mengukur efektivitas dan akuntabilitas organisasi advokat selain PERADI dalam melaksanakan kewenangan Organisasi Advokat yang diatur dalam UUA karena memang sejak semula tidak pernah dimiliki oleh organisasi advokat selain PERADI tersebut.

 

 

7.     ICJR MENAFIKAN PENYEBAB UTAMA MENJAMURNYA ORGANISASI ADVOKAT DAN MENURUNNYA KUALITAS ADVOKAT SAAT INI ADALAH SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NO. 73 TAHUN 2015.

 

 

Sesuai  dengan  UUA  dan  sejalan  dengan  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor

014/PUU-IV/2006  dan  Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 66/PUU-VIII/2010 yang kemudian ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU- XVI/2018, bahwa PERADI adalah satu-satunya Organisasi Advokat yang didirikan 

berdasarkan  Pasal  28 ayat  (1)  UUA  yang  berwenang  melaksanakan  8  (delapan) kewenangan yang ditetapkan dalam UUA, dan karenanya sama sekali tidak memberikan peluang dan dasar bagi organisasi di luar PERADI untuk dapat menjalankan kewenangan sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat.

 

 

Sementara  itu Mahkamah Agung dengan SKMA  Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 bertanggal  25  September  2015  (SKMA  73/2015)  pada  angka  6  menyebutkan

Bahwa terhadap Advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap Advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organisasi Advokat yang mengatasnamakan PERADI dan pengurus Organisasi Advokat lainnya hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”.

 

 

Dalam hal ini ICJR menutup mata terhadap SKMA 73/2015 yang nyata-nyata melanggar dan bertentangan dengan UUA yang kemudian menjadi pokok permasalahan semakin carut marutnya proses pendidikan, ujian, pengangkatan, pengambilan sumpah/janji, pengawasan dan penindakan Advokat, yang pada gilirannya telah menurunkan kualitas Advokat. Sebaliknya, ICJR dengan begitu saja telah menimpakan (mengkambinghitamkan) prinsip Single Bar yang dianut UUA sebagai pokok pangkal kecarut-marutan tersebut.

 

 

ICJR entah dengan tendensi apa, secara serta merta pada alinea kesatu halaman 11

Rekomendasi menuliskan ”Di Indonesia, ketiadaan organisasi profesi pengatur OA (single regulator) menyebabkan tidak adanya acuan standard kebijakan OA....”. Bagaimana bisa dan apa dasarnya ICJR mengatakan demikian. Bukankah ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUA yang mengamanatkan hanya ada satu Organisasi Advokat d.h.i PERADI (single bar) yang dimaksudkan agar ada (satu) standardisasi kualitas Advokat (pendidikan, ujian, pengangkatan, pengambilan sumpah/janji, pengawasan dan penindakan Advokat).

 

 

ICJR telah mengabaikan fakta bahwa selama ini Organisasi Advokat PERADI telah memiliki dan senantiasa berusaha meningkatkan standardisasi pendidikan, ujian, pengangkatan, pengambilan sumpah/janji, pengawasan dan penindakan Advokat, antara lain dengan cara dan dalam bentuk :

a.  Dalam melaksanakan PKPA :

-   PERADI   selalu   bekerjasama   dengan   Perguruan   Tinggi   yang   Fakultas

Hukumnya atau Sekolah Tinggi Hukum yang minimal terakreditasi B.

-   Menggunakan  kurikulum  dengan  standar  yang  seragam  di  seluruh  PKPA

yang terdapat di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.

-    Tenaga pengajar (pemateri) yang kompeten di bidangnya baik yang berasal dari kalangan Advokat senior (berpengalaman) maupun dari kalangan akademisi dan penegak hukum.

-    salah satu materi ajar PKPA PERADI adalah Kode Etik Advokat Indonesia (dalam teori dan praktik). Dan pada saat Pengangkatan Advokat diadakan acara Pembekalan Advokat yang materinya mencakup Kode Etik Advokat Indonesia.

b. Ujian Advokat :

-    dilaksanakan dengan prinsip ”zero KKN” dengan menunjuk pihak ketiga yang independen, kredibel dan memiliki reputasi nasional/internasional sebagai pihak yang menyelenggarakan Ujian Advokat.

-    pembuatan  soal-soal  ujian  dan  pemeriksaan  hasil  Ujian  Advokat  yang dilaksanakan oleh sebuah Panitia dan secara sedemikian rupa dibangun sistem dimana orang (Panitia) yang memeriksa hasil Ujian tidak akan pernah bisa mengetahui jawaban soal ujian yang sedang ia periksa berasal dari peserta ujian yang mana.

-   Ujian  Advokat  dilaksanakan  secara  serentak  di  seluruh  wilayah  hukum

Pengadilan Tinggi se Indonesia. Dan dalam rangka memenuhi permintaan dan kebutuhan akan Advokat, Ujian Advokat diselenggarakan paling tidak 2 (dua) kali dalam setahun.

c.  Pengangkatan Advokat; PERADI sangat selektif dalam melakukan pengangkatan Advokat. Hanya Calon Advokat yang telah mengikuti PKPA PERADI, lulus Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan PERADI serta yang telah memenuhi persyaratan UUA.

d. Pengambilan  sumpah/janji;  Hanya  Advokat  yang  telah  diangkat  PERADI  yang

dimohonkan untuk bersumpah/berjanji di Pengadilan Tinggi.

e.  Komisi Pengawas; Sesuai dengan amanat UUA [Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1)] PERADI telah membentuk Komisi Pengawas baik di tingkat Pusat maupun tingkat Daerah.

f.   Pengawasan;    Komisi    Pengawas    telah,    sedang    dan    akan    melaksanakan

kewenangan, tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan UUA.

g.  Penindakan; Sesuai dengan amanat UUA [Pasal 27 ayat (1) dan (2)] PERADI telah membentuk Dewan Kehormatan baik di tingkat pusat (tingkat banding) maupun tingkat Daerah (tingkat pertama).

Selama ini proses pemeriksaan di Dewan Kehormatan baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding berjalan dengan independen, objektif dan adil serta mempedomani prinsip ”equality before the law”.

 

Dan sesuai dengan amanat UUA [Pasal 8 ayat (2)] secara berkala PERADI telah menyampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Hukum Dan HAM RI putusan-putusan Dewan Kehormatan PERADI yang telah berkekuatan hukum tetap yang amarnya menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap dari profesi Advokat.

h. Buku Daftar Anggota; PERADI sejak awal telah memiliki Buku Daftar Anggota PERADI yang dari waktu ke waktu selalu dicatat pertambahan dan/atau jumlah anggotanya  dan  secara  berkala  salinannya  disampaikan  kepada  Mahkamah Agung Dan Menkumham RI.

i.   PRO BONO; Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2)

UUA dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, PERADI pada tanggal 11 Mei 2009 telah membentuk Unit Kerja yang secara khusus mengurus/mengelola pelaksanaan Probono (bantuan hukum secara cuma-cuma) oleh Advokat PERADI. Dan untuk itu PERADI telah menerbitkan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 bertanggal 8 Juli 2010

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

 

 

8.     ICJR  TIDAK  MEMAHAMI  KODE  ETIK  ADVOKAT  INDONESIA  YANG  DITETAPKAN TANGGAL 23 MEI 2002 BUKAN BERSIFAT SEMENTARA DAN TELAH DIKUKUHKAN KEBERADAANNYA OLEH PASAL 33 UUA.

 

 

Dalam Rekomendasi pada halaman 52 – 53 alinea kedua ICJR menulis “Kemudian, oleh   karena   tidak   ada   otoritas   tunggal   yang   secara   khusus   berwenang   atas penegakan kode etik, evaluasi terhadap substansi kode etik untuk dapat diperbaharui secara berkala juga tidak terjadi selama ini. Secara historis, Kode Etik Advokat yang dibentuk oleh KKAI pada 2002 hanya ditujukan untuk berlaku sementara sampai dengan adanya ketentuan baru yang dibentuk oleh Advokat. Oleh karenanya UU advokat memandatkan OA yang terbentuk setelah undang-undang ini disahkan untuk membuat Kode Etik Advokat. Namun dengan situasi kelembagaan organisasi advokat saat ini, fungsi organisasi advokat untuk melakukan pembaruan kode etik tersebut masih belum ada terlaksana”.

 

 

Pendapat   ICJR   tersebut   di   atas   yang   menyatakan   Kode   Etik   Advokat   yang dikukuhkan pada 2002 hanya ditujukan untuk berlaku sementara adalah sangat tidak benar sama sekali dan cenderung bersifat manipulatif serta bertendensi untuk mendiskreditkan PERADI sebagai Organisasi Advokat yang sah baik secara UU maupun Konstitusi, dengan dasar dan pertimbangan sebagai berikut :

 

a.  Kode Etik Advokat yang disusun dan disepakati oleh 7 (tujuh) organisasi advokat pada  tanggal  23  Mei  2002  yang  kemudian  dilakukan  perubahan  oleh  Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada tanggal 1 Oktober 2022, telah dikukuhkan keabsahannya dan menjadi bahagian dari UUA (Pasal 33).

b. Tidak ada satupun ketentuan dalam UUA yang menyebutkan Kode Etik Advokat tersebut bersifat sementara.

c.  Terkait dengan Kode Etik Advokat, UUA hanya memerintahkan kepada Dewan

Kehormatan Organisasi Advokat sebagai berikut :

1.  Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat [Pasal 26 ayat (7)].

2.  Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan

Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.

 

 

Guna  memenuhi  ketentuan  tersebut di atas PERADI d.h.i Dewan Kehormatan Pusat PERADI telah menyusun dan menerbitkan peraturan-peraturan sebagai berikut :

1)    Keputusan   Dewan   Kehormatan   Pusat   Perhimpunan   Advokat   Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 bertanggal 5 Desember 2007 Tentang Susunan Dan Kedudukan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia.

2)   Keputusan   Dewan   Kehormatan   Pusat   Perhimpunan   Advokat   Indonesia

Nomor  2  Tahun  2007  bertanggal  5  Desember  2007  Tentang  Tata  Cara

Memeriksa Dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia.

3)    Keputusan   Dewan   Kehormatan   Pusat   Perhimpunan   Advokat   Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 bertanggal 5 Desember 2007 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Perkara Pengaduan Dewan Kehormatan Pusat Dan Daerah.

4)    Keputusan   Dewan   Kehormatan   Pusat   Perhimpunan   Advokat   Indonesia Nomor 4 Tahun 2007 bertanggal 5 Desember 2007 Tentang Susunan Dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia.

5)    Keputusan   Dewan   Kehormatan   Pusat   Perhimpunan   Advokat   Indonesia Nomor  05  Tahun  2008  bertanggal  4  November  2008  Tentang  Petunjuk Teknis Dalam Memeriksa Dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia.

Keputusan ini antara lain mengatur bahwa Advokat Anggota PERADI yang diadukan   ke   Dewan   Kehormatan   karena   diduga   melanggar   Kode   Etik Advokat tidak dibenarkan menolak untuk diperiksa oleh Dewan Kehormatan dengan alasan telah mengundurkan diri sebagai Anggota PERADI.

Hingga saat ini Kode Etik Advokat Indonesia yang dikukuhkan dalam Pasal 33

UUA belum dilakukan perubahan oleh PERADI dikarenakan Kode Etik tersebut masih relevan dan masih memenuhi kebutuhan dalam penegakkan  Kode Etik Advokat.

 

 

Sedangkan mengenai Frasa ”sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat” yang terdapat pada Pasal 33 UUA tidak bisa dimaknai bahwa Kode Etik Advokat bersifat sementara”, tetapi harus dimaknai bahwa Organisasi Advokat diberikan wewenang untuk membuat dan/atau mengubah Kode Etik Advokat yang telah menjadi bagian dari undang-undang (Pasal 33 UUA) tanpa harus mengadakan perubahan pada UUA itu sendiri.

 

 

9.    BENTUK     ”SATU-SATUNYA     ORGANISASI     ADVOKAT”     SUDAH     FINAL     DAN

KONSTITUSIONAL.

 

 

Ketentuan  Pasal  28  ayat  (1)  UUA  yang  mengatur  hanya  ada  ”satu  Organisasi Advokat”   dengan   kewenangan   yang   telah   diuraikan   di   atas   disepakati   dan ditetapkan  dalam  UUA setelah melalui perjuangan,dan perdebatan yang panjang dan mendalam baik pada waktu penyusunan draf RUUA maupun pada saat pembahasan RUUA di DPR RI. Ketika itu salah satu hal yang mendasar yang dituntut oleh insan Advokat adalah adanya Organisasi Advokat yang mandiri dan bebas dari campur tangan pemerintah (eksekutif, yudikatif, legislatif). Kemandirian Organisasi Advokat adalah ”roh” dari Organisasi Advokat itu sendiri.

 

 

Kemudian berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada poin

1, 2 dan 4 di atas, semakin sangat jelas dan berdasar bahwa bentuk Organisasi Advokat  yang hanya  ada  satu sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UUA adalah bentuk yang final dan konstitusional. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi secara lebih jelas dan tegas menyatakan dalam Putusan Perkara No. 014/PUU- IV/2006 sebagai berikut :

 

 

Bahwa ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat.

 

Secara sederhana dapat dikatakan, karena Advokat adalah Penegak Hukum dan bahagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman, maka bentuk organisasinya (Organisasi Advokat) harus juga sama dengan bentuk organisasi/institusi penegak hukum lainnya (Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung) yaitu hanya satu.

 

 

10.  TERJADINYA PERPECAHAN ORGANISASI ADVOKAT BUKAN DISEBABKAN KARENA BENTUK ORGANISASI ADVOKAT SATU MELAINKAN KARENA ADANYA KEPENTINGAN PRIBADI/KELOMPOK DARI BEBERAPA ADVOKAT DAN TIDAK KONSISTENNYA MAHKAMAH AGUNG DAN MENKUMHAM DALAM MELAKSANAKAN UUA.

 

 

Uraian  ICJR  pada  halaman  44  Rekomendasi  yang  menyatakan  ”Dalam perjalanannya, PERADI dianggap belum mampu mewadahi semua kepentingan advokat  sehingga  memunculkan  organisasi  lain  yakni  Kongres  Advokat  Indonesia (KAI) pada Mei 2009” adalah keliru, karena hal tersebut terjadi bukan karena ketidakmampuan  PERADI  mewadahinya  melainkan  berawal  dari  adanya kekecewaan dari beberapa advokat yang ketika itu merasa ambisi dan kepentingan pribadi/kelompok mereka tidak tercapai (tidak dapat diperoleh) di/dari PERADI dan kemudian guna dapat terwujud/tercapainya ambisi dan kepentingan pribadi kelompok tersebut mereka membentuk KAI.

 

 

Dalam kasus ini, meskipun terbentuk KAI yang juga mengaku sebagai Organisasi Advokat, Mahkamah Agung ketika di bawah pimpinan Prof. Dr. H. Harifin A. Tumpa, S.H.,  S.H.,  secara  sedemikian  rupa  berusaha  menyelesaikan  pertikaian  antara PERADI dengan KAI dengan tetap berpedoman dan konsisten bahwa Mahkamah Agung RI hanya mengakui PERADI sebagai satu-satunya Organisasi Advokat yang sah sesuai dengan UUA, sehingga yang dapat mengajukan permohonan pengambil sumpah/janji Advokat ke Pengadilan Tinggi hanya PERADI.

 

 

Berbeda dengan keadaan saat ini, dengan alasan adanya perpecahan organisasi advokat  dan  banyaknya  organisasi  advokat,  Mahkamah  Agung  RI  menerbitkan SKMA No. 73/2015 yang membuka pintu selebar-lebarnya kepada setiap organisasi yang mengaku sebagai organisasi advokat untuk dapat (boleh) mengusulkan pengambilan sumpah/janji Advokat ke Pengadilan Tinggi. Terlihat tidak ada sedikitpun upaya dari Mahkamah Agung untuk konsisten (taat asas) bahwa Organisasi Advokat yang sah hanya satu yaitu PERADI, sehingga hanya PERADI pulalah yang berwenang dan dapat mengusulkan pengambilan sumpah/janji Advokat ke Pengadilan Tinggi. SKMA          No. 73/2015 nyata-nyata telah melanggar 

UUA dan bertentangan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah tersebut di atas.

 

 

Demikian juga Kemenkumham dalam hal ini turut andil memberikan kesempatan dan peluang menjamurnya organisasi yang mengaku sebagai organisasi advokat pasca SKMA No. 73/2015, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh ICJR pada halaman  71 alinea  pertama Rekomendasi  “Salah satu kelemahan terkait dengan pengaturan OA di Indonesia adalah standardisasi dan proses pembentukan OA. Pembentukan OA saat ini dapat dilakukan dengan mendaftarkan OA di Kementerian Hukum Dan HAM sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan (syarat administrative)  ....”.  Kenyataan  ini  membuktikan  bahwa  Kemenkumham  sendiri tidak konsisten terhadap ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUA yang mengatur hanya ada satu Organisasi Advokat d.h.i. PERADI.

 

 

11. REKOMENDASI ICJR TENTANG PERUBAHAN UUA DAN DIBENTUKNYA DEWAN ADVOKAT NASIONAL AKAN MENAMBAH PERSOALAN ADVOKAT DAN ORGANISASI ADVOKAT DI INDONESIA SERTA MENCIDERAI KEMANDIRIAN PROFESI ADVOKAT.

 

 

11.1.    PERUBAHAN UUA

 

 

11.1.1.  Bentuk  Organisasi  Advokat  PERADI  sebagai  satu-satunya Organisasi Advokat (Single Bar) yang ditetapkan dalam Pasal 28 ayat  (1)  UUA  merupakan  bentuk  ideal  dari  suatu  Organisasi Advokat  di  Indonesia,  baik  dilihat  dari  sisi  UUD  1945  (sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi) maupun sistem hukum di Indonesia. Dan lebih dari itu, dengan model Single Bar akan lebih mudah untuk tercapainya standarisasi: pendidikan, ujian, pengangkatan, pengawasan dan penindakan Advokat dan kualitas Advokat,  karena  dilakukan oleh satu Organisasi; Dan yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan kemandirian Organisasi Advokat dan Profesi Advokat.

 

 

11.1.2.  Bentuk  Organisasi  Advokat  PERADI  sebagai  satu-satunya Organisasi Advokat (Single Bar) bukan penyebab perpecahan dan carut marutnya Organisasi Advokat, tetapi disebabkan adanya kekecewaan beberapa kalangan Advokat yang merasa ambisi dan kepentingan pribadi/kelompok mereka tidak tercapai (tidak diperoleh) di/dari PERADI dan karena tidak konsistennya MA dan pemerintah dalam melaksanakan UUA d.h.i. Pasal 28 (1) UUA.

 

11.1.3.     Tidak   ada   alasan   untuk   harus   mengubah   bentuk   Organisasi Advokat dari bentuk Single Bar kepada bentuk Multi Bar dengan Single Regulator. Untuk alasan ”Menerapkan Standardisasi, Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Profesi Advokat” PERADI telah melaksanakannya dan secara terus menerus ditingkatkan. Tujuan  ICJR  ”Menerapkan  Standardisasi,  Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Profesi Advokat” tersebut hanya berlaku apabila dihadapkan kepada kondisi/keadaan yang terjadi pada organisasi advokat di luar PERADI yang memang tidak memiliki  kewenangan  untuk  melaksanakan  kewenangan Organisasi Advokat yang oleh UUA hanya diberikan kepada Organisasi Advokat d.h.i. PERADI.

 

 

11.2.    DEWAN ADVOKAT NASIONAL

 

 

11.2.1.     Model DAN menarik masuk pemerintah untuk campur tangan ke dalam Organisasi Advokat – baik secara institusional dan atau finansial - niscaya akan merongrong kemandirian Organisasi Advokat dan Profesi Advokat seperti masa sebelum UUA, padahal kemandirian adalah “roh” dari Organisasi Advokat.

Campur tangan pemerintah dimungkinkan – malahan sangat diperlukan – tetapi hanya sebatas untuk memastikan bagaimana agar UUA dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat Indonesia dapat dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh seluruh pihak, terutama eksekutif, legislatif dan yudikatif.

 

 

11.2.2.   Dengan bentuk organisasi advokat ”Multi Bar dengan Single Regulator” akan menjadikan DAN sebagai birokrasi baru dalam organisasi advokat yang dengan sendirinya akan memperpanjang birokrasi di organisasi advokat, sehingga tujuan peningkatan standardisasi dan kualitas Advokat akan semakin sulit dicapai.

 

 

11.2.3.     Dengan adanya DAN yang menaungi organisasi advokat (Multi Bar dengan Single Regulator), akan semakin tumbuh subur organisasi advokat dan organisasi advokat akan menjelma menjadi sekadar biro jasa pendidikan dan pengangkatan advokat. Dan lebih parah 

lagi, akan semakin besar potensi konflik antara organisasi advokat dengan DAN dan antara sesama organisasi advokat.

 

 

11.2.4.     Dengan begitu banyaknya organisasi yang bernaung dibawah DAN, akan  sulit  terciptanya  standardisasi  kemandirian  organisasi advokat dan profesi advokat diantara sesama organisasi advokat yang dinaungi oleh DAN karena masing-masing organisasi advokat akan memiliki sudut pandang yang berbeda (tidak sama) dalam membangun dan meningkatkan kemandirian organisasi advokat dan profesi advokat.

 

 

11.2.5.     Tidak ada jaminan atau siapa yang dapat menjamin dikemudian hari nanti tidak akan ada pihak-pihak yang tidak puas dengan DAN kemudian membentuk DAN tandingan dan atau akan menimbulkan perpecahan di DAN.

 

 

Perlu diketahui, konsep Dewan Advokat Nasional pernah diusulkan dalam RUU Advokat tahun 2014 tetapi konsep itu telah ditentang secara massif oleh advokat Indonesia pada waktu itu, bahkan ditentang dengan cara demonstrasi   oleh   ribuan   advokat-advokat   Indonesia   yang   datang   dari seluruh Indonesia dan akhirnya RUU tersebut tidak jadi untuk disahkan.

 

 

Alasan utama bagi advokat menentang RUU Advokat tersebut karena adanya konsep DAN (Dewan Advokat Nasional) dimana konsep ini bertentangan dengan prinsip independensi advokat, yang merupakan roh dari profesi advokat di seluruh dunia. Karena tanpa adanya independensi advokat maka tidak mungkin Hukum/Rule of Law dapat ditegakkan. Hal ini juga pernah disampaikan oleh Akira Kawanura, Presiden IBA (International Bar Association) ketika menjadi ahli di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010, Nomor 71/PUU-VIII/2010 dan Nomor 79/PUU-VIII/2010.

 

 

Sehingga kami heran, kenapa ICJR bisa memunculkan lagi ide DAN (Dewan Advokat Nasional) ini dalam kajiannya, sementara ide ini telah ditolak dan terkubur selama ini dan tidak dipakai lagi oleh DPR pada waktu itu, sehingga tidak dilanjutkan pembahasannya.

 

 

Dari semua kajian ICJR ini, konsep DAN ini adalah konsep yang paling tidak dapat diterima oleh advokat Indonesia, karena melanggar prinsip kebebasan

dan kemandirian (independensi) advokat yang merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki advokat/organisasi advokat di seluruh dunia. Sekali lagi kami  sampaikan  tanpa independensi advokat,  maka perlindungan kepada pencari keadilan dan peradilan yang jujur tidak akan tercapai.

 

 

Jadi menurut kami, konsep Single Bar adalah yang paling tepat digunakan di Indonesia  seperti  juga  di  negara-negara  lain,  karena  dengan  Single  Bar tujuan dibuatnya UU Advokat itu akan tercapai yaitu antara lain :

1. Meningkatkan kualitas advokat Indonesia

2. Mewujudkan dan memastikan tercapainya peradilan yang jujur

3. Melindungi pencari keadilan.

 

 

Demikian  yang  dapat  kami  sampaikan,  atas  perhatian  pihak  yang  terkait  kami ucapkan terima kasih.

 

 

 

Jakarta, 26 Juli 2023

 

 

Dr. Adardam Achyar, SH.MH

(Ketua Dewan Kehormatan Pusat PERADI)

 

 

 

Download artikel

SEKRETARIAT DPN PERADI

PERADI TOWER
Jl. Jend. Achmad Yani No.116, Jakarta Timur 13120

T: +62 21 3883 6000, E: info@peradi.or.id

Copyright © Perhimpunan Advokat Indonesia 2015